BUMN 'Keroyok' Proyek Infrastruktur, Ini Dampak Negatifnya
BUMN 'Keroyok' Proyek Infrastruktur, Ini Dampak Negatifnya - Peran swasta dalam proyek infrastruktur semakin minim. Hal itu karena banyaknya penunjukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Demikian diungkapkan ekonom Institute for Development for Economics and Finance (INDEF) Faisal Basri dalam diskusi Politik Pembangunan Infrastruktur di Jakarta, Kamis (28/3/2019).
Faisal menjelaskan porsi swasta dalam proyek infrastruktur dalam kurun waktu 2006-2010 mencapai 19%. Kemudian, susut tajam pada 2011-2015 menjadi 9%. Sementara, target dalam RPJM 2015-2019, porsi swasta mencapai 37%.
Dia mengatakan, peran swasta makin lama makin kecil karena penunjukan alias tidak ada tender. Penunjukan ini berisiko pada perubahan nilai proyek karena tidak ada perencanaan pembiayaan. Dia bilang penugasan ke BUMN memiliki risiko, salah satunya meningkatnya nilai proyek.
"Ada peran swasta yang kian hari kecil, itulah yang menyebabkan tadi penunjukan tidak ada tender, mengalami eskalasi biaya, kenapa ya ditunjuk. Di dalam perencanaan proyek tidak dimasukkan perencanaan pembiayaan. Biasanya, proyek di dalamnya ada perencanaan pembiayaan, biaya urusan nanti yang penting yang penting bangun dulu," paparnya.
Faisal bilang, kondisi tersebut terjadi dalam proyek light rail transit (LRT). Semula, direncanakan sekitar Rp 20 triliun kini bengkak menjadi Rp 31 triliun. Padahal, proyek tersebut hampir rampung.
"Itulah yang terjadi pada LRT misalnya, tadinya Rp 20-an triliun, membengkak tengah jalan. Sudah mau selesai membengkak jadi Rp 31 triliun," ujarnya.
"Sampai detik ini pembiayaan belum jelas kekurangannya dari mana, masih ada Rp 4 triliun masih kurang, nggak tahu. Dari bank Rp 17 triliun, dari APBN kira-kira Rp 6 triliun lewat penyertaan modal negara (PMN) KAI dan Adhi (Karya). Masih kurang Rp 4 triliun belum jelas," tutupnya
"Ada peran swasta yang kian hari kecil, itulah yang menyebabkan tadi penunjukan tidak ada tender, mengalami eskalasi biaya, kenapa ya ditunjuk. Di dalam perencanaan proyek tidak dimasukkan perencanaan pembiayaan. Biasanya, proyek di dalamnya ada perencanaan pembiayaan, biaya urusan nanti yang penting yang penting bangun dulu," paparnya.
Faisal bilang, kondisi tersebut terjadi dalam proyek light rail transit (LRT). Semula, direncanakan sekitar Rp 20 triliun kini bengkak menjadi Rp 31 triliun. Padahal, proyek tersebut hampir rampung.
"Itulah yang terjadi pada LRT misalnya, tadinya Rp 20-an triliun, membengkak tengah jalan. Sudah mau selesai membengkak jadi Rp 31 triliun," ujarnya.
"Sampai detik ini pembiayaan belum jelas kekurangannya dari mana, masih ada Rp 4 triliun masih kurang, nggak tahu. Dari bank Rp 17 triliun, dari APBN kira-kira Rp 6 triliun lewat penyertaan modal negara (PMN) KAI dan Adhi (Karya). Masih kurang Rp 4 triliun belum jelas," tutupnya
Post a Comment